“Udah isi belum?”
Itu pertanyaan yang kerap aku terima bahkan sejak sebulan setelah menikah. Pertanyaannya sih biasa. Yang menyebalkan itu ketika aku bilang “Belum,” lalu si lawan bicara ini ceramah panjang lebar menyarankan untuk segera punya momongan.
Sambil tersenyum kecut, aku jelasin kalo mau nyelesaikan kuliah dulu. Trus dianya bilang, “Lho ya enak kan kuliah sambil ngasuh anak. Mumpung kamu masih muda. Kakek neneknya masih kuat buat bantuin momong. Jangan ditunda-tunda, ntar malah beneran gak dikasih lho.”
DORRR!
Lain cerita sewaktu aku masih mempersiapkan pernikahan. Banyak orang bertanya aku bakal tinggal di mana usai menikah. Ya aku jawab tinggal di rumah mertua, karena aku mau kuliah dulu. Langsung deh keluar omongan begini begitu. Yang nggak enak lah, nggak mandiri lah, endebrei endebrei.
Sedih ya kalo melihat kehidupan bersosial sekarang ini. Begitu gampangnya menghakimi tanpa mau menyadari bahwasanya kondisi setiap orang itu berbeda.
Padahal semua orang tau kan kalo hidup itu pilihan. Oh, mungkin nggak semua mengerti kalo pilihan dalam hidup itu kadang diambil karena faktor keadaan yang nggak memungkinkan. Suatu hal yang di luar kuasa kita sebagai manusia. Sesuatu yang harus dikorbankan demi meraih idealisme-idealisme kita.
Aku yakin, cara bersosial seperti inilah yang seringkali menimbulkan berbagai gesekan di kalangan ibu-ibu. Karena jaman semakin berkembang, penduduknya makin cerdas juga. Melahap ilmu pengetahuan ini-itu. Namun sayang nggak diimbangi dengan sikap toleran dan tenggang rasa, sehingga terjadilah yang namanya ASI vs sufor, ibu bekerja vs ibu rumah tangga, de el el.
Arti kata Tenggang Rasa menurut KBBI adalah dapat (ikut) menghargai (menghormati) perasaan orang lain.
Aku sendiri (dan suami) memutuskan untuk menunda punya momongan. Demi apa? Mengejar gelar sarjana, menggapai kesempatan yang terlewat di masa lalu, mencari peluang, dan agar aku mampu mendidik anakku dengan bekal pendidikan yang aku punya. Sedih deh rasanya kalo aku bayangin di masa depan nanti anakku kuliah S1, sementara ibunya nggak ngerti dunia akademiknya sama sekali. :(
“Lho, bukannya dulu kamu udah kuliah?”
Beda, karena sifatnya pendidikan non-formal. Sedangkan aku masih belum puas mendapatkan ilmu dan pengetahuan di bidang komunikasi, makanya aku kuliah lagi. Toh suami mendukung penuh keinginanku. Dan tau nggak, dengan berkuliah lagi aku punya banyaaaak sekali peluang untuk mengembangkan bakat dan potensi yang aku punya. Yang mungkin nggak bakal aku dapat semisal aku memilih untuk jadi ibu rumah tangga aja.
“Kuliah sambil punya anak kan bisa.” (bahkan ada yang bilang asik)
Begini ya, di mana-mana sudah terbukti kalo ngomong itu lebih gampang ketimbang menjalani. Kalo masih ngeyel, tanya aja Om Super Syekali. :p
Selain itu, yang dapat mengukur kemampuan dan kesiapan diri ya jelas yang menjalani toh. Karena aku merasa belum mampu dan siap untuk menimang anak, terpaksa harus aku tunda dulu.
“Buktinya temen aku bisa. Si A si B juga bisa.”
Nah, bukan kamu kan? :p :p
Weleh weleh, masa kudu diingetin lagi sih kalo kadar kemampuan dan kesiapan tiap orang tuh berbeda-beda. Ya kalo semua punya kemampuan sama, dari dulu harusnya bukan aku melulu yang ngangkatin galon dari halaman pesantren sampe asrama lantai dua LOL.
“Dibantu ngasuh kakek nenek juga bisa kan?”
Enggak.
Ayah dan ibuku sibuk bertahan hidup untuk menyekolahkan adik-adikku. Keluargaku hanya bertahan hidup dari toko kelontong di rumah (serta menyewakan lapak di desa). Jadi apa aku bakal setega itu untuk membebani kedua orang tuaku?
Mertua? Sudah cukup sepuh lah ya untuk ukuran mengasuh anak. Apalagi bayi, yang butuh energi ekstra untuk merawatnya sepanjang hari. Ya ya aku tau seorang kakek/nenek nggak bakal keberatan ngasuh cucunya… untuk sekali dua kali aja lah. Kalo tiap hari kok berasa seperti nanny, ya gak sih?
Apalagi mertuaku tuh suka banget jalan-jalan. Kebayang kan gimana repotnya mereka menikmati usia senja kalo harus momong cucu.
Belum lagi soal pola asuh yang (bisa jadi) berbeda, berisiko besar menimbulkan dualisme. :(
Terakhir yang nggak kalah penting: DANA. Ya, aku dan Muffin belum punya/mempersiapkan cukup dana untuk kebutuhan anak kami. Kenapa? Ya karena proritas kami saat ini adalah aku bisa kuliah + lulus dulu. Lagipula kuliah itu kan investasi, siapa tau suatu hari nanti aku harus mandiri/turut membantu perekonomian keluarga.
“Eh, jangan ditunda. Ntar malah nggak dikasih lho.”
Serius, pernyataan semacam ini tuh bikin aku mikir ya masa Allah setega itu sih sama hamba-Nya? Apa iya Sang Pencipta berkehendak sepicik itu?
Aku yakin kok, mau berusaha sekeras apa pun kalo Allah nggak menghendaki kita punya keturunan dari rahim sendiri, ya nggak bakal dikasih. Begitu pun sebaliknya, mau ditangkal pake cara apa pun kalo Allah menghendaki kita untuk memiliki keturunan, ya tetep dikasih.
Sudah nggak terhitung jumlahnya kan berapa banyak pasangan yang berikhtiar segala cara, namun hasilnya tetap nihil. Lalu yang udah pasang KB segala macam, buktinya masih bisa aja kebobolan kok.
Kita ini siapa sih, kok juga menghakimi Tuhan sendiri. :))
Pun mengenai keputusan kami untuk tinggal di rumah orang tua Muffin, telah melalui berbagai pertimbangan. Selain dekat dengan lokasi kampus, selama ini Muffin ya tinggal cuma sama orang tuanya. Adik iparku masih merantau di ibukota, entah sampai kapan. Yaudahlah, tinggal bareng aja dulu. Toh lumayan bisa sharing internet dan gaji Muffin selebihnya dapat ditabung untuk keperluan masa depan.
*
Yuk ah, mulai sekarang kita biasakan bertenggang rasa terhadap pilihan hidup orang lain. Beda berpendapat itu wajar, memaksakan pendapat itu yang nggak boleh. Inget yaaa, hidup itu sawang-sinawang. Jadi kita nggak boleh ngomong seenak udel mengenai hidup orang lain.
Di balik ibu-ibu yang memilih sufor dibanding ASI, mungkin jauh sebelumnya mereka telah berupaya sedemikian cara. Mulai dari mengkonsumsi makanan bergizi, memijat payudara, pumping sepanjang hari, atau karena faktor lingkungan kerja yang nggak mendukung.
Faktor ekonomi juga sangat berpengaruh. Siapa tau sang ibu hanyalah seorang asisten di sebuah warung nasi, yang waktunya padat untuk mengurusi pembeli. Tak ada waktu untuk menyusui. Atau siapa tau sang ibu tidak mampu untuk membeli makanan bergizi karena nyatanya sebanyak apa pun ia mengkonsumsinya, ASI-nya belum cukup untuk memenuhi kebutuhan si bayi.
Itu sebagai contoh aja ya. Masih banyak kasus lain yang bisa kita telusuri hal-hal yang mendasari seseorang untuk mengambil keputusan tersebut. Hal-hal yang sulit kita mengerti karena kita nggak berada di posisi yang sama. Maka dari itu, cukup hargailah. :)
Aku sendiri kalo punya prinsip yang bertentangan dengan lawan bicara ya nggak bakal aku paksakan. Misal ada temen aku yang saat ini lagi hamil tua padahal dia berstatus sebagai mahasiswi baru kayak aku, bahkan dia juga nyambi sebagai freelance MUA.
Pas aku tanya gimana soal kuliah dan kariernya kalo punya anak, dia menerangkan bahwa mertuanya yang bakal bantu ngasuh. Baik dirinya maupun mertuanya, sama sekali nggak keberatan. Walau aku berseberangan prinsip soal pola asuh orang tua/mertua yang menurutku berisiko menyebabkan dualisme, aku nggak mendebatnya.
Aku cuma bilang, “Oooh gitu. Ya gapapa sih.”
Dan barusan dapet masukan dari pembaca nih (Mas Wijna), gak perlu ngutarain pendapat sebelum ditanya sama lawan bicara. Gitchuuuu.
Nah yang kayak gitu kan nggak memicu perdebatan karena kita menghargai pilihannya. Intinya, ciptakan perdamaian dengan hidup saling toleran dan bertenggang rasa. Yuk ah, masa kamu nggak kepengen hidup damai sentosa? Maunya drama melulu gituh? Yaelah, Lambe Turah aja ada berita damainya masa kamu enggak.
Yaudah segini dulu yah. Mohon maaf semisal ada tulisanku yang memicu perdebatan, aku sama sekali nggak bermaksud loh. Intinya, peace aja lah yaw… *acungin dua jari*
Piss, lopp, en gahoel,
-Hilda Ikka-
Hm hm hm, klo menurut aku, pernyataanmu yang:
ReplyDelete“Oooh gitu. Kalo aku nanti blablabla ya bakal blablabla soalnya blablabla. Kalo kamu gitu ya gapapa sih, kan kamu yang jalanin.”
Itu sebetulnya bisa memicu perdebatan lho. Karena kamu mengungkapkan pendapatmu yang mana itu berbeda dengan pendapatnya temenmu itu. Penyebab munculnya perdebatan itu karena adanya 2 pendapat yang berbeda kan?
Klo menurutku, supaya kita nggak memicu perdebatan dan juga menghargai pendapat orang lain, seusai orang lain menyatakan pendapatnya, kita ucapkan:
"Jadi begitu ya",
"Oke",
"Wah menarik"
dan ungkapan-ungkapan lain yang menyatakan kita setuju pada pendapat mereka. Sebelum orang lain bertanya pendapat pribadi kita, ya sebaiknya kita jangan bilang.
CMIIW
Ooh oke Mas. Makasih ya, biar aku koreksi lagi ^^
DeleteYap. Cause every mother has different. Aku sendiri sebagai ibu, kalo ada yang nasihatin apalagi sampe maksa-maksa males dengernya. Ya karena setiap ibu udah punya caranya sendiri. Dan seorang ibulah yg tau seperti apa cara merawat anaknya dg baik. Hihi kok jd curcol. Peace ah :D
ReplyDeleteNah, sebenernya kalau kondisi seperti kak Ika ini aku senang sih memutuskan buat tinggal di rumah mertua. Selain emang karena faktor keuntungan buat kak Ika-nya, mertua di rumah pun jadi nggak kesepian. Beda orang, beda cerita XD
ReplyDeleteYang ribet itu kalau nggak bisa bertenggang rasa sama orang serumah sih. Hahahaha orangtua sulit yaaaaaaaaaa mengerti bahwa aku 'beda' sama mereka. Padahal dari dulu mereka tau aja aku beda, cuma ga mau menerima. Da gimana atuh misalkan aku memaksa jadi kayak mereka, ya mungkin aku nggak akan jadi 'aku' yang sekarang ini.
Hidup itu rumit tapi nikmat maaaaaaakkkk
'gak perlu mengemukakan pendapat sebelum ditanya' *CATET*
ReplyDeleteDuh Ka, kalo ngomongin omongan orang tu gak ada habisnya ya, makan ati. Pura2 budeg aja kali ya. haha. Kayak kata Mbak Prim, hidup itu Tuhan yg menentukan, kita yg menjalani, orang lain yg komentar.
Aku misalnya. Hamil pertama, kaki bengkak. pada koemntar deh, aku dulu kok enggak ya, makanya banyak jalan, jangan gini, jangan gitu, bla bla bla. Batinku, "sak karepmulah!". hihihi. walaupun ya tetep wae gondhok.
ada namaku disebut~~~
Deleteuntung aku punya default system yg namanya "bodo amat" :D jadi udah bisa sabar mengatasi pertanyaan2 kepo dan nasehat "memaksa" kaya gitu, malah kadang dibuat becandaan hehehehe :D
ReplyDeleteDuh..komentarku hilang. Ngetik ulang ini.
ReplyDeleteAku selalu ingat pesan ibuku, kalau ada yang komentar sama hidup kita atau ngajakin ngomentarin hidup orang cukup jawab, Oh...msak sih? Ehm...gitu.
Sebel? Sampai rumah cerita deh sama keluarga kayak suami atau ibu. Ntar lumayan plong. Msih belum plong tulis aja. Hahaha.
Yang penting keluarga mah nerima kita apa adanya. Orang lain biarkan berkicau *gaya* padahal sering baper sama komentar orang. Wkwkwk
no comment lah kalau masalah debat2an..hehehe
ReplyDeleteinget baik2 nih HM..gak perlu ngutarain pendapat sebelum ditanya sama lawan bicara..^^
aku mah kayaknya udah kebal sama omongan orang. Gegara nikah sambil kuliah. Dibilang ini itu, kayaknya orang pesimis sama hidup kita. Tapi insya alloh mbak ikka. kita kan punya Alloh yang pengasih dan penyayang. Kita fokus ke Alloh aja. Omongan orang mah lewwaaattttt.
ReplyDeleteTekanan sosial...penyumbang strees
ReplyDeleteEntah kenapa ya kita jadi supersensitif kalo ada yang berbeda dengan diri kita, ada yang nggak sejalan dengan kita langsung di cap jelek. Kalo kita berhak melakukan demikian, ingat orang lain pun hak yang sama untuk melakukannya juga.... Tenggang rasa harus diasah kembali, dan ingat setiap orang hak punya jalan pikiran yang berbeda
ReplyDeletehalo mak, salam kenal. hahaha pengalamannya hampir sama ya. bedanya ak saat ini sudah 7 bulan nikah dan emang blm dikasih.
ReplyDeletebanyak si pertimbangan kenapa engga ngisi dulu.
tapi yang paling bikin ngguondok adalah komentar orang2 yg "istrinya disuruh ini itu makan ini makan itu bla bla bla.."
seolah yg salah itu pihak wanita. selalu saja pihak wanita yang harus extra dapet komentar. sedangkan pria rasa2nya jarang bahkan hampir ga pernah dapet komentar harus gini gitu.
yaah..sharing aja ya.
orang2 saat ini sudah menganggap obrolan dalam negri orang udh kaya ranah sendiri *sewot kan nih komennya* hehehe
semangat mak!
Aku baca aja, dulu sempet ngerasain beginian juga. Tapi ya balik lagi, setiap orang punya kadar kepo yang beragam dan gak semua org dikasi kecerdasan buat mengutarakan kekepoannya tanpa menyakiti org lain. Pertanyaan kapan nikah akan berganti dgn kapan hamil, lalu berubah jadi kok anakmu kurus amat *gigitpanci
ReplyDeleteKalo nurutin omongan orang mah ga akan pernah selesai kak, cuma bisa elus dada aja. Hehehe
ReplyDeletebener, tapi jadi toleran juga susah, makannya banyak banget orang-orang yang ember komentar ini-itu tanpa tahu kalau yang ngejalaninnya susah. tapi ini juga sering aku alami, makannya aku berusaha menghargai orang, atau paling nggak aku belajar jaga mulut, coba hargain orang biar gak asal komentar. btw blognya bagus :")
ReplyDeletesetujuuuu, paling kesel sma orng yg brtntangan prinsip sma kta dan dynya ngotot pla. pdhal kn kndsi tiap orng beda
ReplyDeleteKamu adalah kamu.. Saya adalah saya.. Apapun pilihan kita, pastinya sudah dipertimbangkan dengan baik. Don't listen to people too much hehehehe...
ReplyDeletebenar banget, beda orang beda cerita, setiap orang pasti akan menghargai pilihan hidup kita yang akan kita jalani bila kita ngomong dan menjelaskan alasannya..
ReplyDeletesudah hal terbiasa kata-kata yang tadi pasti muncul dalam keseharian kita, itulah hidup berbagai macam reaksi akan timbul, karena kita tidak bisa mengiginkan mereka untuk berbuat sesuai keinginan kita, ya harus sabar lah, yang penting kita tidak berbuat sama ke orang lain..
ReplyDeleteyang ga menunda aja masi nungguin.. kadang komentarnya pedess badai mak..
ReplyDeleteyg jomblo ditanya kapan nikah,
yg nikah kapan isi
yg isi normal ato sc
yg uda ada dek bay sufor ato ASI
nanny ato sendiri
worker mom ato IRT
LDR ato barengan..
makjaang drama banget
tapi tiap pilhan orang itu ada alasannya..dan bener qt patut menghargai pilihan orang itu..
fyi..
Hahaha... senasib Mbak, saya umur 25 belum nikah pada di nyinyirin padahal tahu kehidupan saya juga nggak, padahal yang nyinyir pernikahannya gak bahagia 😌😌😌 #ups
ReplyDelete