“Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid. Yang sama-sama kuat. Bukan yang saling ngisi kelemahan. Karena untuk menjadi kuat, adalah tanggung jawab masing-masing orang. Bukan tanggung jawab orang lain.”—Sabtu Bersama Bapak
Wow, seri #PrewedStory is back! Setelah postingan terakhir di tanggal 2 Maret 2016 HAHAHAHA gapapa lah ya. Karena konten #PrewedStory dibuat sebagai wawasan untuk siapapun yang mau menikah dan sifatnya nggak terikat waktu. Semoga kontennya masih nyambung ya sampe 20 tahun ke depan hihi.
Aku terpancing menulis topik ini berkat meledaknya single terbaru Ariana Grande, yaitu Thank U, Next (yang bakal aku jelasin nanti). But first, aku mau cerita permasalahan utamanya dulu.
Aku kenal seseorang, namanya (disamarkan) Melia. Melia ini jauh lebih muda dari aku. Usianya sekitar 20 atau 21 tahun.
Di usia segitu, dia berencana menikah muda. Namun berdasarkan cerita, pacar Melia (sebut saja Erik) ini sungguh protektif. Setiap agenda yang ia lakukan, kudu lapor ke pacarnya. Kalo pacarnya ngelarang, dia tak kuasa menolak. Melia ngaku kalo dia tuh orangnya susah melawan dan dia ngerasa Erik ini selalu punya alasan yang benar.
OMG, is that toxic?
Bahkan Melia menambahkan, “Yang aku nggak suka, Erik itu kasar, Mbak. Dia bisa kasar sekali.”
Well, aku nggak berani menanyakan ‘kasar’ dalam bentuk apa. Namun kasar dalam bentuk verbal atau omongan aja udah nggak bagus, kan? It’s abusive!
“Tapi kata ibuku, itu kekurangan Erik yang harus aku terima. Karena di dunia nggak ada manusia yang sempurna. Kalo kita selalu cari yang sempurna ya nggak bakal ketemu.”
Aku pun menghembuskan napas. Panjang sekali.
Jadi begini, memang nggak ada manusia yang sempurna di dunia. Bahkan untuk menikah pun, kita perlu realistis menyadari bahwa setiap orang memiliki kekurangan. Namun kita BISA lho memilahnya sebelum menikah. Kekurangan apa yang bisa kita tolerir dan mana yang tidak. Jadi kita bisa kok menolak kalau ada hal yang nggak sreg bagi kita.
Perilaku kasar? Menurutku, menurutku lho yaaaaa, itu sangat berat untuk ditolerir.
Kenapa?
Karena begini pertimbangannya: oke kamu sebagai istri/pasangannya bisa mentolerir perilaku kasarnya. Tapi bagaimana dengan anak? Nggak menutup kemungkinan kalau perilaku kasarnya akan disalurkan ke anak. Kemudian anak akan tumbuh dewasa mewarisi perilaku yang sama.
Contoh nyata, ya aku sendiri. Ayahku orangnya temperamen banget. Kalo marah bisa kasar sekali. Sewaktu menikah, ibuku cuma bilang kalo ayahku berani KDRT ke ibuku (doang), ibu nggak segan-segan langsung minta cerai.
Kemudian apa yang terjadi? Aku selaku anak pertama yang menjadi pelampiasannya. Nggak terhitung berapa kali aku dipukul, ditendang, digigit, dihajar, dihukum, dipermalukan di depan tetangga, dan lain-lain you name it. Kalo dipikir-pikir, anugerah banget aku masih bisa hidup normal dengan pikiran waras (plus otak yang rada cemerlang).
Perlakuan kayak gitu membuatku trauma dan berjarak banget dengan ayahku. Makanya aku nggak bisa berlagak manis pada kedua orangtuaku karena masa lalu yang pahit itu membuatku teramat canggung. Sekarang sih hubunganku dengan beliau udah jauuuuh lebih baik, alhamdulillah.
Ya, aku tumbuh dewasa mewarisi perilaku ayahku. Ketika marah, nggak jarang aku refleks membanting barang. Aku nggak segan berkata kasar, memaki-maki, dan lain sebagainya. Berat banget lho, hingga detik ini aku masih berjuang untuk mengendalikan dan meminimalisirnya.
Makanya aku masih takut punya anak cepet-cepet karena aku takut kelepasan pada anakku dengan perangai seperti ini.
Muffin (suamiku) orangnya jauh lebih tenang dibanding aku ketika menghadapi masalah. Tapi dia menikahiku bukan untuk menjadikanku lebih sabar atau semacamnya. No! Itu tanggung jawabku sendiri untuk berubah.
Kalau pasangan yang serasi itu yang saling melengkapi, maka orang berperangai buruk akan dianggap lumrah tanpa dituntut untuk berubah. Contoh, suami pemarah dengan istri penyabar. Istri akan dipandang untuk terus sabar pada suaminya yang pemarah. Apakah itu adil? Enggak, kan?
Apalagi untuk seorang muslim, hal ini tentu bertentangan dengan firman Allah.
“Wanita-wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita yang tidak baik pula. Wanita yang baik untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik.” (Qs. An Nur:26)
Dari kacamata manusia, baik-tidak baiknya seseorang tentu relatif. Namun pada beberapa hal kan sangat mudah untuk didefinisikan. Suka berbohong? Tidak baik. Suka main tangan? Tidak baik. Malas bekerja? Tidak baik. Dan lain sebagainya yang dapat kamu jumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Kesimpulannya, aku tidak sepenuhnya setuju dengan semboyan “pasangan serasi itu yang saling melengkapi”. Kekurangan yang ada pada diri kita merupakan tanggung jawab masing-masing.
Malas beribadah, malas bersih-bersih, gaya hidup tidak sehat, itu bukan tanggung jawab pasanganmu untuk mengubahmu. Bukan juga tanggung jawab ayahmu, ibumu (dalam konteks kalian udah dewasa ya), kakakmu, adikmu, sahabatmu, apalagi ketua RT-mu. Tentu saja itu tanggung jawab dirimu sendiri.
“Pasangan serasi itu yang saling melengkapi” menurutku cocok diimplementasikan dalam bentuk skill. Jadi artinya saling melengkapi dalam ranah keahlian, bukan untuk mengisi kelemahan. Contohnya kayak Melly Goeslaw dan Anto Hoed, pasangan penyanyi dan musisi. Atau Ria Miranda dengan Pandu Rosadi, pasangan pebisnis.
Skill sehari-hari juga bisa. Misal istri pandai memasak, suami jago beberes. Atau istri pandai berkebun, suami pandai mekanik. Apa aja deh, selama menguntungkan bagi kedua belah pihak. Jadi istilah saling melengkapi di sini ya nggak ada yang dirugikan gitu lho.
Lalu apa hubungannya dengan lagu Ariana Grande – Thank U, Next?
FYI, lagu ini diluncurkan setelah kandasnya hubungan asmara Ariana dengan Pete Davidson yang dinilai sensasional. Sebelumnya, mantan Ariana yang bernama Mac Miller meninggal dunia akibat overdosis. Banyak pihak yang menyalahkan Ariana atas kematian Mac. Kenapa?
Karena Ariana telah berpacaran dengan Mac Miller selama 2 tahun namun putus. Sementara selang sebulan setelah berpacaran dengan Pete Davidson, ia mantap bertunangan. Banyak pihak memprediksi Mac kehilangan pegangan setelah putus dari Ariana, bila ditilik dari kasus kecelakaan mobil hingga overdosis yang menyebabkan kematian Mac.
Salah seorang netizen Twitter menyalahkan Ariana dan menganggap hal ini merupakan hal paling menyakitkan yang pernah terjadi di Hollywood. Setelah Mac Miller menuangkan perasaannya pada Ariana ke dalam 10 lagunya (album The Divine Feminine), betapa kejam Ariana mencampakkan Mac begitu saja.
Bagaimana respon Ariana?
Ia menerangkan bahwa dirinya berada dalam toxic relationship saat bersama Mac. Dia sudah mencoba peduli dan berdamai dengan kecanduan Mac terhadap narkoba/obat-obatan. Tapi dia tidak bisa begini terus. Dia bukan babysitter Mac, apalagi ibunya, atau perempuan manapun tentu tidak bisa diminta pertanggungjawaban atas perilaku kecanduan tersebut.
Ariana menegaskan, kesalahan besar kalau kita menyalahkan perempuan atas ketidakbecusan pasangannya. Apalagi selama ini dia sudah mencoba peduli, memberi support, hingga berdoa untuk kebaikan Mac.
Well, aku setuju terhadap apa yang dilakukan Ariana Grande. Dia berhak kok keluar dari toxic relationship. Perilaku kecanduan Mac dan masalah yang ditimbulkannya sama sekali bukan tanggung jawab Ariana. Dan ya, kita perlu berhenti menyalahkan seseorang atas apa yang terjadi pada pasangannya.
Jadi, untuk kamu yang saat ini sedang dalam perjalanan menuju pelaminan, silakan berpikir matang-matang soal kekurangan calon pendamping hidup. Think wisely, apakah kehidupanmu nantinya akan tetap baik-baik saja dengan kekurangan yang dia miliki? You decide! 😉
Selamat berpikir ulang!
-Hilda Ikka-
Ugh, tulisan ini keren sekali Ika <3
ReplyDeleteAku langsung kepikiran semoga Melia baca juga.
Setuju bahwa kekurangan pasangan itu harus dipilah, dalam hal prinsip atau bukan. Kalau di aku misal nih, suka naro handuk di kasur (duh contohnya, wkwk) itu hal sepele dan masih bisa ditolerir. Tapi kalau misal suka mukul (KDRT) atau malas sholat, itu udah prinsip banget dan musti dicari penyelesaiannya dengan serius.
Dan super setuju bahwa untuk berubah jadi lebih baik, adalah tanggung jawab kita sendiri sebagai orang dewasa.
Sama halnya untuk bisa bahagia.
Jangan gantungkan pada orang lain💕
Hai Mbak, sebelum aku tulis, aku udah sampein pendapatku ini ke dia kok. Jadi dia sendiri juga tau dan berpikir ulang. Entah apa keputusan dia nantinya aku cuma bisa support, semoga itu yang terbaik untuknya.
DeleteIya Mbak, mumpung belum ijab kabul, masih bisa diselamatkan. I hope she'll always be fine.
Tulisannya bagus sekali Mbak :)
ReplyDeleteToxic ini memang harus hati-hati menanggapinya. Kita sendiri harus tau kadar kesanggupan dalam diri sendiri. Kalo ada perilaku kita atau pasangan yang kelewat batas seperti KDRT, harus diingatkan (ini kl sudah nikah ya) tapi kl kelewatan ya lebih baik pisah saja drpd harus menyakiti diri sendiri.
Intinya kita yg harus tau batas diri kita sendiri :)
Fakta menyedihkan, banyak korban abusive/toxic relationship yang gak berdaya dan merasa nggak apa-apa padahal hubungan mereka udah ngerugiin orang sekitar. Makanya mumpung belum nyemplung, baiknya dipikir-pikir lagi karena kalo udah terlanjur basah susah mentasnya :(
DeleteHmm. Aku juga belajar banyak dr pernikahan orangtuaku, ka. Bapakku juga temperamen, meski gak pernah sampai main tangan. Dan ibuku yg tadinya wanita yg teramat lembut bin taat, lama-lama berubah jadi gampang terpancing emosi dan bernada tinggi. Mungkin karna saking biasanya ngadepin bapakku kan.
ReplyDeleteSekarang sih Alhamdulillah bapak udah jauuuuhh lebih kalem. Sejak anak-anaknya berani 'tegas' ke beliau saat beliau salah. Jadi gak merasa superior lagi.
intinya, pernikahan yg penuh toxic dampaknya kemana-mana yaa emang. Kalo bisa dihindari ya dihindari lah. Apalagi kayak temenmu itu, mumpung belum kan ya :( Belum jadi suami aja udah kasar cobak T__T Piye nek wis nikah, OMG kutakbisa membayangkan.
Alhamdulillah masa-masa itu udah terlewati ya :"
DeleteBener, itu juga yang aku takutkan. Apalagi orang kalo udah nikah kan makin keliatan sifat aslinya ke pasangan :(
Tulisan yg keren.
ReplyDeletePernikahan org tua sy selama 26 tahun penuh drama dan percekcokan, mba. Bapak temperamen dan ibu rewel suka melawan. Dari sy kecil mereka suka bertengkar di depan kami 4 anaknya, bapak bahkan sering main tangan kalau sudah marah. Kami anak2nya sangat sering jadi pelampiasan. Dari seringnya bertengkar & terjadinya KDRT mereka ngga mau pisah. Itu betul2 terbawa ke kehidupan sy. Skrg bapak masih temperamen cuma dan jarang main tangan.
Skrg sy sdh 2 tahun menikah dan memiliki 1 anak. Sy selalu berharap dan berusaha bisa dijauhkan dari hubungan seperti pernikahan orang tua sy.
Setuju banget! Hmm aku lebih tertarik sih gimana hubungan kak ikka dan ayahnya membaik. Haha abisnya aku mah seperti masih punya dendam aja gitu 🤣
ReplyDeleteWow tulisannya bagus mbak, tentang toxic relationship. Alhamdulilah hubunganku sama pasangan belum masuk toxic dan semoga engga sampai kapanpun. :D
ReplyDeleteKa, keren banget tulisanmu ini. Semoga banyak yang baca, yang akan melanjutkan hubungan ke pernikahan tetapi pasangannya hobi abusive. Entah verbal ataupun malah fisik. Semoga mikir mikir ulang ya kalau memang seperti itu.
ReplyDeletewaaaah setuju banget ka, dengan kata lain, sebelum menikah kita harus 'selesai' dengan diri sendiri dulu. Aku mengartikannya, selesai memahami apa maunya diri kita, ngerti batas kekuatan diri kita, ngerti selfworth kita, dll baru menikah biar nggak menikah karena bucin semata hehe....
ReplyDelete