Pernah dengar cerita soal orang tua yang bakar merchandise kpop milik anaknya? Kisah ini sempat jadi perbincangan hangat beberapa waktu lalu di Twitter. Bermula dari konten video pengguna TikTok (yang aku curigai merupakan ibu si anak), video tersebut menampilkan reaksi anak perempuan remaja saat mendapati koleksi photocard dan merchandise kpop lainnya dibakar oleh orang tua tanpa sepengetahuan dirinya.
Untuk konten videonya bisa kalian lihat sendiri di twit ini. Pun beserta reaksi pro kontra dari warganet.
if tak boleh jd parents supportive pun boleh je kot slow talk before ambik tindakan nak bakar2 semua barang tu plus ada barang yg kawan dia bagi. if tak suka barang2 kpop dalam rumah, suruh lah jual balik ke or bagi dekat org yg nak. pic.twitter.com/0ZuAUY9wpG
— elle (@tinybamtyun) September 23, 2022
Aku enggak akan membahas kasus pembakaran merchandise kpop itu lebih jauh. Aku cuma mau cerita kalo aku berempati dengan anak perempuan tersebut, karena aku pernah berada di posisinya. Saat menonton video itu, aku dapat merasakan kesedihannya sebagaimana sedih yang pernah aku rasakan dulu.
Disclaimer: tulisan-tulisanku yang bertemakan ‘inner child’ sama sekali tidak bermaksud untuk menyudutkan dan menjelek-jelekkan orang tuaku, melainkan murni untuk berbagi cerita, perasaan, dan pembelajaran bagi diri sendiri (sekaligus orang lain kalau bisa). Alhamdulillah hubunganku dengan orang tua saat ini kian membaik dan jauh lebih baik dibandingkan dulu.
Sebagai seorang anak (yang kini telah tumbuh dewasa), aku paham betul bahwa orang tua (kebanyakan) senantiasa menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Mereka juga berupaya agar anak tidak keluar dari jalur norma dan nilai-nilai yang dianutnya. Namun terkadang mereka lupa untuk melibatkan anak dan tidak jarang mengambil keputusan sepihak, seperti yang terjadi pada kasus pembakaran merchandise kpop di awal tulisan ini.
Yang kualami, orang tuaku pernah diam-diam menyita koleksi buku bacaanku. Hal ini terjadi saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar, aku lupa tepatnya kelas berapa. Antara kelas 3 atau 4 SD gitu.
Sejak kecil aku memang hobi membaca, dari majalah sampe koran bekas gorengan. Suatu hari, aku diajak ibuku berkunjung ke rumah mantan majikannya di Surabaya (FYI, ibuku dulu sebelum menikah berprofesi sebagai babysitter/nanny). Sebelum pulang, aku mendapat hibah buku bacaan dari cece L dan cece Y, anak sang majikan. Nggak banyak sih, ada 1 komik Detective Conan dan 3 novel Lupus Kecil.
Meski bukan buku baru, aku senang sekali menerimanya. Aku pun suka dengan isi bukunya.
Suatu ketika, aku kehilangan koleksi buku dan majalahku. Padahal seingatku semuanya kusimpan jadi satu di lemari buku pelajaranku. Saat itu, aku terlalu takut untuk bertanya pada orang tuaku di mana keberadaan koleksi bacaanku. Maklum, hubungan kami pada saat itu belum begitu baik dan ayahku sangat keras padaku.
Hingga pada suatu hari, aku menemukan koleksi buku dan majalahku tersimpan secara tersembunyi di lemari dapur. Secara tidak sengaja setelah berminggu-minggu lamanya. Aku merasa sangat patah hati karena sadar betul itu perbuatan orang tuaku. Memang belakangan itu, orang tuaku sering menyebut-nyebut nilai rapor dan mengkambinghitamkan hobi membacaku. Aku pun pernah mendengar perkataan mereka bahwa hobi membaca ‘bacaan tidak penting’ dikhawatirkan dapat mengakibatkan malas belajar dan menurunkan prestasi di sekolah.
Aku sedih, terlebih saat orang tuaku mengambil keputusan secara sepihak dan tidak pernah membicarakannya padaku. Seolah perasaanku tidak penting, yang penting itu ya anak harus rajin belajar dan gak usah aneh-aneh. :’)
Padahal sebagai orang tua, mereka bisa membuat kesepakatan denganku seperti boleh punya hobi membaca dan koleksi buku bacaan selama tugas sehari-hari tidak diabaikan. Bahkan ketika mereka secara sepihak tetap mau menyita pun, akan lebih baik ketika berterus terang sejak awal. Bukan sembunyi-sembunyi di belakangku. :’)
Setelah tumbuh dewasa, aku mengerti maksud dari sikap orang tuaku. Mereka hanya ingin aku terus rajin belajar sehingga dapat meraih kehidupan yang lebih baik di masa depan. Maklum, kedua orang tuaku berasal dari keluarga kelas menengah agak ke bawah dan beranggapan pandai di sekolah dapat mengantarkanku pada kesuksesan di masa depan.
Kalau dipikir-dipikir, alhamdulillah ya orang tuaku masih baik gak sampai ngebakar koleksi bacaanku sehingga aku bisa ‘mencuri’-nya kembali hehehe. Yang kayak gini aja udah bikin aku sedih bin patah hati, apalagi anak yang koleksi merchandise kpopnya dibakar itu huhuhu.
Cerita ini merupakan pengingat agar tidak lupa mempertimbangkan perasaan anak, sekaligus libatkan anak di setiap keputusan yang diambil. Sekalipun keputusan itu sepenuhnya merupakan kendali orang tua, setidaknya biarkan anak ikut tahu…
ah reminder buatku, thank you ...
ReplyDeleteSelama ini sering banget terjadi anak yang tidak dihargai orang tuanya, padahal rumah untuk seorang anak adalah ibu dan ayahnya. Namun, perasaan dan keputusan yang ingin ia ambil selalu tidak dihargai sehingga anak akan bersedih. Terima kasih sharingnya!
ReplyDeleteSetujuuuu banget. Aku belajar dari pengalaman sendiri mba. Ortuku juga keras banget, dan merasa mereka paling tahu dan benar. Untungnya kalo soal membaca papa malah sangat supportive. Tiap bulan kami Diksh budget utk beli buku bacaan. Tapiiii buat soal2 lain jangan tanya. Aku ga boleh masuk IPS, ga boleh ambil jurusan perhotelan, atau sastra, dengan alasan semua itu ga bagus dan ga berguna 😔. Padahal pelajaran2 yg aku suka ya di jurusan IPS dan aku dr dulu PGN bgt masuk perhotelan atau sastra. Sakiiit banget pas denger alasan papa ttg jeleknya perhotelan dan sastra. Dibilang, mau jadi apa ntr, mau hidup susah??! Tapi bersyukurnya aku msh diizinin masuk akuntansi. Krn ini salah satu pelajaran fav ku dulu.
ReplyDeleteUjungnya Krn sering dilarang ini itu, pasti anak berontak. Aku ga peduli juga mau bagus atau jelek nilai. Bodoamat. Jadi sering bolos, ngerokok dan ngelakuin yg mereka larang.
Dari situ aku ga mau perlakuin anak2ku hal yg sama. Harus mau dengerin mereka. Apa yg jadi passionnya, apa keinginannya..supaya setidaknya mereka juga nantinya menghargai kita..