Aku merupakan anak sulung dari 3 bersaudara; dua perempuan dan satu laki-laki. Usiaku dengan adik-adik terpaut cukup jauh; 7 tahun dengan adik laki-laki dan 12 tahun dengan adik perempuan. Maklum, mulanya orang tuaku ingin punya 2 anak saja. Eh di luar rencana, Allah hadirkan adik perempuanku (kita panggil saja Fara) saat aku duduk di bangku kelas 6 SD.
Lulus dari SD, aku bersekolah asrama dari SMP hingga SMA. Lulus SMA, aku melanjutkan studi di luar kota. Otomatis aku nggak banyak menghabiskan waktu bersama adik perempuanku kala ia masih kanak-kanak. Namun ternyata hal itu nggak membuatnya ‘jauh’ dariku. Kami berdua cukup dekat, mungkin karena sama-sama anak perempuan jadi lebih nyambung satu sama lain.
Ada fenomena lucu yang aku amati dari orang tuaku perihal perbedaan generasi antar wali murid sejak adikku Fara ini bersekolah.
Di sekolah, rata-rata teman Fara ini merupakan anak pertama atau anak kedua. Otomatis orang tua mereka usianya rata-rata masih cukup muda dong, yaaah 30-an lah. Sementara itu ibuku melahirkan Fara di usia 37-an, jadi ya saat Fara masuk SD usia ibuku sudah 40-an. Walhasil usia ibuku dengan ibu-ibu wali murid lainnya berjarak agak jauh.
Ibuku tuh sering cerita hal-hal yang berkaitan dengan sekolah adikku. Misal pas jelang karnaval Kartini-an, ibuku cerita soal antusiasme wali murid lain yang menurut beliau lebay.
“Heran deh aku, kok mama-mama itu ikutan heboh. Jadi yang karnavalan enggak cuma anaknya, eh emaknya juga. Pakai dandan baju adat segala. Waduh, perasaan dulu aku nggak segitunya deh.”
“Dulu” yang dimaksud oleh ibuku adalah masa-masa menyekolahkan aku dan adik laki-lakiku.
Aku denger cerita ibuku mah senyam-senyum aja soalnya ngerti kalo generasi ibuku dan generasi wali murid lainnya ini cukup banyak berbeda. Generasi orang tua yang lebih muda memang cenderung lebih ekspresif, partisipatif, dan terbuka.
Saking bedanya, ibuku tuh tipikal orang tua yang nggak terlalu senang bersentuhan ama teknologi. Aku lupa tepatnya kapan ibuku akhirnya pakai smartphone. Itu pun terpaksa karena hengpon jadulnya lama-kelamaan suka bermasalah dan beliau merasa butuh 2 hape untuk memudahkan komunikasi. Jadi selama Fara SD, ibuku nggak pernah join grup wasap wali murid! 😂
Untung ayahku masih suka update perkembangan teknologi, jadi beliau deh yang join grup-grup informasi wali murid. Tapi ya gitu, ortuku cukup jadi silent reader. Gak pernah ngeramein bahkan sekadar mengirim sticker ucapan atau doa selamat pagi. 😂
Fenomena ini berlanjut sampai adikku melanjutkan SMP-nya ke pesantren. Ibuku sering mengeluhkan perilaku wali santri lain yang dianggapnya cukup lebay. Grup wasap koordinasi wali santri selalu ramai pertanyaan orang tua yang menanyakan kabar anaknya. Orang tua yang beginilah, begitulah.
Lagi-lagi aku cuma ketawa dengerinnya. Ya mau gimana lagi, emang generasinya beda. Ayah ibuku merupakan produk generasi yang tidak terbiasa mengucapkan kata-kata sayang ataupun mengungkapkan perasaan. Sementara orang tua dari anak-anak generasi Z ini kan sudah cenderung millenial, hubungan antara orang tua dan anak tidak begitu kaku bila dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Yang bikin tambah lucu, adikku Fara ini generasi Z sementara ortuku generasi boomer. Jauh banget kan gapnya. 😂 Adikku tipikal anak yang suka curhat dan mengungkapkan perasaan, sementara ortuku risih dengan hal-hal kayak gitu khususnya ibuku. Ibuku bilang, “Perasaan dulu anak-anakku (baca: aku dan adik laki-lakiku) nggak ada yang gitu, kok si Fara ini lebay ya. Apa-apa diceritain.”
Dalam hati aku tersenyum miris mendengarnya. Sejujurnya aku ya sama saja seperti Fara, ingin bercerita ini-itu ke orang tua. Hanya hubunganku dengan ortu dulu tidak dekat karena tau lah ya gaya pengasuhan ortu jaman dulu cenderung keras sehingga menimbulkan jarak tak kasat mata. :’)
Etapi salut juga sih ama Fara yang tetep gigih cerita ini-itu meski ibuku kadang suka galak atau hobi ngejailin dia. 😆
Lulus dari SD, aku bersekolah asrama dari SMP hingga SMA. Lulus SMA, aku melanjutkan studi di luar kota. Otomatis aku nggak banyak menghabiskan waktu bersama adik perempuanku kala ia masih kanak-kanak. Namun ternyata hal itu nggak membuatnya ‘jauh’ dariku. Kami berdua cukup dekat, mungkin karena sama-sama anak perempuan jadi lebih nyambung satu sama lain.
Ada fenomena lucu yang aku amati dari orang tuaku perihal perbedaan generasi antar wali murid sejak adikku Fara ini bersekolah.
Di sekolah, rata-rata teman Fara ini merupakan anak pertama atau anak kedua. Otomatis orang tua mereka usianya rata-rata masih cukup muda dong, yaaah 30-an lah. Sementara itu ibuku melahirkan Fara di usia 37-an, jadi ya saat Fara masuk SD usia ibuku sudah 40-an. Walhasil usia ibuku dengan ibu-ibu wali murid lainnya berjarak agak jauh.
Ibuku tuh sering cerita hal-hal yang berkaitan dengan sekolah adikku. Misal pas jelang karnaval Kartini-an, ibuku cerita soal antusiasme wali murid lain yang menurut beliau lebay.
“Heran deh aku, kok mama-mama itu ikutan heboh. Jadi yang karnavalan enggak cuma anaknya, eh emaknya juga. Pakai dandan baju adat segala. Waduh, perasaan dulu aku nggak segitunya deh.”
“Dulu” yang dimaksud oleh ibuku adalah masa-masa menyekolahkan aku dan adik laki-lakiku.
Aku denger cerita ibuku mah senyam-senyum aja soalnya ngerti kalo generasi ibuku dan generasi wali murid lainnya ini cukup banyak berbeda. Generasi orang tua yang lebih muda memang cenderung lebih ekspresif, partisipatif, dan terbuka.
Saking bedanya, ibuku tuh tipikal orang tua yang nggak terlalu senang bersentuhan ama teknologi. Aku lupa tepatnya kapan ibuku akhirnya pakai smartphone. Itu pun terpaksa karena hengpon jadulnya lama-kelamaan suka bermasalah dan beliau merasa butuh 2 hape untuk memudahkan komunikasi. Jadi selama Fara SD, ibuku nggak pernah join grup wasap wali murid! 😂
Untung ayahku masih suka update perkembangan teknologi, jadi beliau deh yang join grup-grup informasi wali murid. Tapi ya gitu, ortuku cukup jadi silent reader. Gak pernah ngeramein bahkan sekadar mengirim sticker ucapan atau doa selamat pagi. 😂
Fenomena ini berlanjut sampai adikku melanjutkan SMP-nya ke pesantren. Ibuku sering mengeluhkan perilaku wali santri lain yang dianggapnya cukup lebay. Grup wasap koordinasi wali santri selalu ramai pertanyaan orang tua yang menanyakan kabar anaknya. Orang tua yang beginilah, begitulah.
Lagi-lagi aku cuma ketawa dengerinnya. Ya mau gimana lagi, emang generasinya beda. Ayah ibuku merupakan produk generasi yang tidak terbiasa mengucapkan kata-kata sayang ataupun mengungkapkan perasaan. Sementara orang tua dari anak-anak generasi Z ini kan sudah cenderung millenial, hubungan antara orang tua dan anak tidak begitu kaku bila dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Yang bikin tambah lucu, adikku Fara ini generasi Z sementara ortuku generasi boomer. Jauh banget kan gapnya. 😂 Adikku tipikal anak yang suka curhat dan mengungkapkan perasaan, sementara ortuku risih dengan hal-hal kayak gitu khususnya ibuku. Ibuku bilang, “Perasaan dulu anak-anakku (baca: aku dan adik laki-lakiku) nggak ada yang gitu, kok si Fara ini lebay ya. Apa-apa diceritain.”
Dalam hati aku tersenyum miris mendengarnya. Sejujurnya aku ya sama saja seperti Fara, ingin bercerita ini-itu ke orang tua. Hanya hubunganku dengan ortu dulu tidak dekat karena tau lah ya gaya pengasuhan ortu jaman dulu cenderung keras sehingga menimbulkan jarak tak kasat mata. :’)
Etapi salut juga sih ama Fara yang tetep gigih cerita ini-itu meski ibuku kadang suka galak atau hobi ngejailin dia. 😆
Oalah, memang begitu kalau di umur yang sudah bertaut kepala empat masih punya anak yang bersekolah. Agak beda memang dengan ibu-ibu yang lebih muda. Beda generasi langsung kerasa beda sifatnya. Terima kasih informasinya!
ReplyDelete